Matahari belum tampak dari persembunyiannya, namun, semilir angin pagi ini telah menyapa kami berdua (Saya dan Gilang) hingga menusuk tulang. Tangan ini begitu kaku untuk mengangkat tas cariel ke mobil pick-up yang akan kami tumpangi menuju Ranu Pani.
Kami memang sengaja, menginap semalaman di rumah salah satu pedagang di pasar Ranu Pani yang akrab dipanggil Cak Laman oleh para pendaki, karena mobilnya sering digunakan untuk transportasi para pendaki yang hendak ke Semeru atau Bromo.
Kami tidak hanya berdua, 4 pendaki yang berasal dari Jakarta dan Bogor juga mempunyai niat yang sama untuk mendaki gunung Semeru. Uniknya, hanya 1 orang laki-laki yang ada dalam rombongan tersebut, wow, sepertinya olahraga ekstem ini mulai digemari kaum hawa. Sekitar 1 Km, mobil mulai disesaki oleh pedagang-pedagang yang akan ke pasar.
Dalam perjalanan, kami disuguhkan dengan jalanan yang naik turun dan pemandangan indah gunung Bromo, kami sempat berhenti sejenak untuk mengabadikan keindahan tersebut.
Sampai Ranu Pani
Ternyata tak hanya pintar berdagang, Cak Laman juga mahir mengemudikan mobilnya hingga sampai Ranu Pani tanpa hambatan apapun.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIB, kami langsung menuju pos pendakian TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) untuk menyelesaikan masalah administrasi. Di pos tersebut terpampang informasi mengenai Gunung Semeru, mata saya tertuju pada daftar korban tewas, hilang dan kecelakaan di gunung ini. Paling atas tertulis nama Soe Hok Gie, salah satu aktivis pada tahun 1966 dan merupakan pendiri MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang meninggal di Semeru. Sebelum keberangkatannya bersama MAPALA UI menuju gunung Semeru, Gie sempat berkata kepada teman-temannya,
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Seperti sudah firasat akan kematiannya, Gie juga menuliskan dalam buku catatannya, “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Peralatan telah lengkap, kini hanya fisik dan mental yang akan berbicara. Semerupun telah memanggil kami berdua, seperti tak sabar untuk didaki. Cariel kami begitu berat, namun itu bukan sebuah halangan untuk memulai perjalanan ini.
Track dari Ranu Pani-Ranu Kumbolo sangat menyenangkan, karena landai dan hanya terdapat sedikit tanjakan, sehingga saya dan Gilang tidak mememui kesulitan berarti pada track ini. Hanya saja, saya selalu meminta istirahat untuk makan, maklum, dari pagi kami belum makan. Namun, Gilang tak menyetujui usulan saya, menurutnya, lebih baik makan di Ranu Kumbolo, karena kalau kita masak disini, nanti akan terlalu malam sampai Ranu Kumbolo.
Ranu Kumbolo
Tepat pukul 16.00 WIB, kami sampai Ranu Kumbolo, saya langsung mengeluarkan kamera untuk mengabadikan keindahan alam disini. Karena begitu asyik memotret, saya sampai lupa bahwa kami harus mendirikan tenda sebelum malam tiba. Sampai di area Camp, kami langsung disambut 4 pendaki yang sebelumnya berbarebgan dengan kami. Mereka-pun menawaran teh hangat, karena kelelahan, kami pun tak segan-segan untuk mengambilnya. Tak lama, tenda telah kami dirikan, dan kini saatnya memasak dan beristirahat.
Pagi di Ranu Kumbolo
Hembusan angin pagi yang begitu menusuk tulang membuatku enggan untuk keluar tenda, namun karena keinginanku memotret keindahan Ranu Kumbolo di pagi hari amat kuat, sehingga niat untuk kembali menutup mata dapat saya kalahkan. Waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul 05.00 WIB, sementara rekan saya, gilang masih tertidur pulas dengan balutan sleeping bag. Sambil menunggu matahari keluar dari persembunyiannya, saya mendengarkan mp3. Alat pemutar musik yg ringkas dan mudah ini, selalu menjadi penghibur saat berpergian, termasuk naik gunung, dan di setiap perjalanan, saya pasti memiliki lagu yang akan menjadi kenangan, jika suatu saat nanti saya ingin mengingat perjalanan ini kembali. Mungkin kebiasaan ini kurang bermanfaat, namun amat berarti bagi saya, karena menurut saya masa lalu adalah sebuah pengalaman yang didalamnya kita banyak belajar tentang apapun. Nampaknya hari ini mendung, dan matahari kurang memancarkan sinarnya. Namun, apa boleh buat, kamera dan tripod telah terpasang dan saya mulai menekan shutter release.
Ranu Kumbolo terletak di ketinggian 2400 Mdpl. Danau ini disebut-sebut sebagai surganya para pendaki. Setiap pendaki yang akan ke puncak mahameru pasti menyempatkan diri untuk bermalam disini. Dari keterangan kawan kami, yang juga ketua Mapala Wigapala (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Widyagama Malang) menyebutkan, Jika anda datang pada musim kemarau, suhu di Ranu Kumbolo dapat mencapai -3 derajat celcius, anda akan melihat salju-salju kecil pada rumput-rumput bagaikan berlian disekitar danau ini dan diatas tenda anda akan penuh dengan salju. Dari penjelasannya sebelum berangkat, saya begitu penasaran mendengar pernyataan tersebut. Namun saya tidak menemukan pengalaman yang dialami Soni karena sekarang adalah musim hujan.
Setelah jeprat-jepret, saya melihat kearah tenda dan gilang pun telah terbangun. Kami pun langsung memasak, disela-sela memasak kami berbincang tentang perjalanan selanjutnya menuju Kali Mati. Kami berdua bingung, karena ada dua pilihan, yaitu meninggalkan seluruh barang-barang termasuk tenda di Ranu Kumbolo lalu naik ke puncak atau ke nge- camp di Kali Mati terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke Puncak. Perbincangan yang cukup lama, akhirnya menghasilkan keputusan, dengan memilih rencana yang pertama. Pilihan kami ini sangat jarang dilakukan para pendaki, karena jarak dari Ranu Kumbolo menuju puncak Mahameru masih teramat jauh sementara jika ingin sampai di puncak Mahameru tidak boleh lebih dari pukul 9 pagi, hal ini karena pada waktu tersebut, angin bergerak lebih kencang. Biasanya mereka menuju Kali Mati terlebih dahulu untuk berisirahat, pada pukul 24.00 atau 02.00 baru melanjutkan menuju puncak.
Ranu Kumbolo - Puncak Mahameru
Tepat pukul 20.00, kami memulai perjalanan dengan membawa makanan secukupnya dan air minum. Ternyata ada pendaki lain yang juga ingin mengikuti cara kami, mereka berjumlah 6 orang yang juga berasal dari Jakarta.
Baru beberapa langkah, kami sudah disuguhkan tanjakan yang memiliki nama unik yaitu tanjakan cinta. Menurut cerita dari pendaki-pendaki yang pernah ke Semeru, Jika kita tidak menengok ke belakang, terus berjalan dan selalu memikirkan wanita yang kita idamkan selama melewati tanjakan ini, maka saat pulang, wanita yang kita inginkan akan menjadi kekasih kita. Jika ditanya asal cerita- cerita tersebut, mayoritas para pendaki tidak tahu dari mana asalnya, semua mengalir dari mulut ke mulut.
Setelah itu, kami melewati padang rumput luas yang dinamakan Oro-oro ombo. Disekelilingnya terdapat bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah, padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa.
Selanjutnya kami memasuki hutan Cemara. Disini kami melewati pohon-pohon tumbang, sehingga sedikit merepotkan kami. Setelah berjalan selama 4 Jam, kami sampai juga di Kalimati yang berada pada ketinggian 2700 Mdpl. Kondisi saat ini hujan deras dan terpaksa kami harus berhenti sejenak untuk istirahat dan menunggu hujan reda. Jika kita berjalan ke arah barat dengan menelusuri pinggiran hutan Kalimati, kita akan menemukan sumber mata air. Hujan pun reda, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Kami sempat tersesat saat mencari jalan menuju Arcopodo. Disini terdapat banyak jalur, jadi harus berhati-hati. Beruntung ada yang memanggil kami dengan teriakan, “Mas salah Jalur”. Kami pun segera diberitahu jalur yang benar. Sekarang kami baru menghadapi jalur yang terjal dan dikanan-kirinya terdapat banyak jurang, diharuskan tetap terfokus melewati jalur ini.
Pada ketinggian 2900 Mdpl kami sampai di Arcopodo, banyak pendaki yang beristirahat sebelum melanjutkan ke Puncak Mahameru. Arcopodo merupakan wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya kita akan melewati bukit pasir. Ada sedikit kesulitan saat melewati jalur ini, karena saat kita menginjak pasir selalu turun lagi. Hal ini yang membuat kami sedikit putus asa. Disamping harus kuat secara fisik dan mental, fokus pada jalur juga diperlukan. Saya selalu mencoba untuk tetap fokus karena saya selalu teringat oleh peristiwa tewasnya mahasiswa UGM beberapa bulan lalu, akibat tak sadar menuju ke punggungan sebelah kiri yang terdapat jurang. Saya berpisah dengan rombongan, karena banyak sekali pendaki yang memenuhi jalur ini.
Menjelang Pagi
Tak terasa sang fajar mulai menampakkan wajahnya, saya segera mengabadikan pemandangan ini. Hamparan hutan pinus terbentang dan langit yang berwarna oranye menjadi sasaran bidikan saya. Fisik yang mulai kelelahan karena mengantuk, membuat perjalanan semakin lama dilalui. Gilang sempat bertanya kepada saya, Jay, lo yakin nggak bisa sampai puncak? Kalo nggak yakin mendingan turun aja lagi. Saya menjawab dengan tegas, yakin Lang, gue yakin bisa. Akhirnya pada pukul 09.00 saya dan Gilang sampai puncak Mahameru. Puncak yang kemarin hanya saya dengarkan lewat lagu DEWA 19 berjudul Mahameru, kini ada di depan mata saya. Inilah yang dikatakan DEWA 19, yaitu “puncak abadi para dewa”, dikatakan dewa karena untuk mencapai puncak ini kita benar-benar dihadapkan pada keegoisan diri kita sendiri, sehingga yang berhasil mencapai puncak tertinggi di pulau Jawa ini disebut sebagai “Dewa bagi dirinya sendiri”.